Beranda | Artikel
Klasifikasi Transaksi
Rabu, 1 Juni 2022

Klasifikasi Transaksi

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Pada edisi yang lalu dijelaskan tentang rukun-rukun transaksi dalam syariat islam. Pada edisi ini kami sampaikan permasalahan berikutnya yaitu klasifikasi transaksi dalam fikih islam. 

Perlu diketahui transaksi memiliki banyak klasifikasi melalui sudut pandang yang berbeda-beda. Para ulama dan pakar fikih sejak zaman dahulu sangat memperhatikan masalah klasifikasi dan pembagian jenis transaksi dalam bentuk kelompok dan bagian-bagian yang khusus. Hal itu memiliki faedah dalam memahami hakekat transaksi dan hukum-hukumnya yang berjalan diatas transaksi yang sama dalam hukum yang kesemuanya masuk dalam satu kategori atau satu klasifikasi. 

Disini akan kita singgung sebagian klasifikasi tersebut:

Pertama: Klasifikasi Transaksi dari Segi Hukum Syariat (taklifi):

Berkaitan dengan soal transaksi ada beberapa hukum syariat yang ditetapkan. Berdasarkan sudut pandang ini, transaksi terbagi menjadi lima:

Pertama : Transaksi/akad wajib. Seperti akad nikah bagi orang yang sudah mampu menikah, memiliki bekal untuk menikah dan khawatir dirinya akan berbuat maksiat kalau tidak segera menikah.

Kedua :Akad/transaksi sunnah. Seperti meminjamkan uang, memberi wakaf dan sejenisnya. Dan inilah dasar dari segala bentuk akad yang disunnahkan.

Ketiga : Akad/transaksi mubah. Seperti transaksi jual beli, penyewaan dan sejenisnya. Dan inilah dasar hukum dari setiap bentuk transaksi pemindahan kepemilikan baik itu yang bersifat materi atau fasilitas.

Keempat: Akad makruh. Seperti menjual anggur kepada orang yang masih diragukan apakah ia akan membuatnya menjadi minuman keras atau tidak. Dan inilah dasar hukum dari setiap bentuk transaksi yang diragukan akan bisa menyebabkan kemaksiatan

Kelima : Akad haram. Yakni akad atau transaksi perdagangan riba, menjual barang haram seperti bangkai, darah, daging babi dan sejenisnya.

Kedua: Dari Sudut Pandang Sebagai Harta Atau Bukan Harta (Lihat Ahkaam Tasharrufaat al-Wakil Fi ‘Uquud al-Mu’awadhah  hlm 66)

Kalau ditinjau dari sudut sebagai harta atau bukan, transaksi diklasifikasikan menjadi tiga:

Pertama : Akad harta dari kedua belah pihak, disebut sebagai transaksi materi baik secara hakekatnya, seperti jual beli secara umum, jual beli salam dan sejenisnya. Ataupun dihukumi harta seperti transaksi terhadap fasilitas dan jasa, seperti penyewaan dan peminjaman barang. Karena fasilitas jasa (manaafi’) termasuk harta atau dijustifikasikan sebagai harta menurut mayoritas para ulama..

Kedua : Transaksi terhadap yang bukan berupa harta dari kedua belah pihak. Transaksi yang terjadi terhadap satu pekerjaan tertentu tanpa imbalan uang, seperti gencatan senjata antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir yang wajib diperangi, transaksi wasiat dan sejenisnya.

Ketiga: Transaksi terhadap harta dari satu pihak dan non harta dari pihak lain. Seperti akad nikah, transaksi khulu’ (gugat cerai), transaksi jizyah, transaksi pembebasan denda, dan sejenisnya.

Yang terkuat dari semua transaksi itu adalah transaksi non harta dari kedua belah pihak. Karena transaksi yang bersifat transaksi materi bisa dibatalkan karena adanya cacat pada barang kompensasinya. Seperti transaksi uang dengan barang dagangan. Sementara transaksi non material hanya bisa dibatalkan bila terjadi hal yang mencegah berlangsungnya akad tersebut (al-Mantsur fil Qawaaid 3/402-403 dinukil dari Ahkaam Tasharrufaat al-Wakil hlm 66).

Ketiga: Dilihat dari Sudut Pandang Sebagai Transaksi Permanen (laazim) atau Non Permanen (Jaaiz)

Dilihat dari sudut kepermanenan atau tidaknya, transaksi diklasifikasikan menjadi tiga pula (Lihat juga Ahkaam Tasharrufaat al-Wakil Fi ‘Uquud al-Mu’awadhah  hlm 65):

Pertama: Aqd laazim adalah semua transaksi yang sah, sempurna dan terjadi dari kedua belah pihak tidak menerima adanya pembatalan transaksi tersebut selamanya atau dapat dibatalkan namun tidak dimiliki hak pembatalan kecuali terjadi kesepakatan diantara kedua transaktor tersebut (Aqsaam al-Uqud 1/246). Berdasarkan hal ini maka transaksi permanen (Uqd Laazim) ini terbagi dua:

  1. Transaksi (akad) pada kedua transaktor yang tidak menerima pembatalan dengan cara mengalah salah satu pihak (al-Iqaalah) (Aqsaaam al-Uqud  hlm 251). Atau transaksi yang menjadi permanen dan diterapkan dengan kesempurnaan trasnsaksi tersebut tanpa menrima adanya khiyaar majlis dan syarat. Walaupun kadang menerima khiyaar aib. Contohnya adalah transaksi waqaf dan nikah serta yang sejenisnya (Al-Irsyaad karya As-Sa’di hlm 145 dinukil dari foot note Syeikh Muhammad bin Abdilaziz al-Khudhari dalam tahqiq beliau atas kitab Minhaaj as-Salikin Wa taudhih al-Fiqhi Fiddin karya Syeikh Abdurrahman as-Sa’di hlm 157).
  2. Transaksi (akad) permanen pada kedua transaktor yang menerima pembatalan dengan iqaalah (Aqsaam al-Uqud hlm 251). Atau transaksi permanen namun masih disyariatkan padanya khiyar majlis dan syarat (Foot note Minhajus Saalikin hlm 157), seperti transaksi jual beli, sharaf (Money Changer), jual beli salam, penyewaan dan sejenisnya.

Kedua: Aqd Jaaiz adalah Transaksi non permanen dari kedua belah pihak, sehingga masing-masing pihak memiliki hak untuk membatalkan transaksi. Dengan demikian salah satu dari kedua belah pihak bila menghendaki bisa membatalkan transaksi tersebut. Transaksi ini dibatalkan dengan kematian salah satu transaktor dan kesalahan dalam melakukan aktifitasnya (Lihat foot note Minhajussalikin hlm 157). Contohnya, Syirkah, wakalah, peminjaman, menanam modal dengan sistem qiraadh (Mudharabah), wasiat dan sejenisnya.

Ketiga: Aqd Laazim min Tharaf wa Jaaiz min Tharaf akhor  adalah Transaksi permanen dari salah satu pihak, namun non permanen pada pihak lain. Seperti penggadaian barang setelah barang di tangan dan sejenisnya. Dalam gadai transaksinya permanen untuk raahin (pemberi gadai atau penghutang) sehingga ia tidak dapat menggagalkan transaksi tanpa keridhaan dari Murtahin (pemberi hutang) (Lihat Ahkaam tasharrufat al-Wakil hlm 66). Beda dengan Murtahin ia memiliki kebebasan untuk membatalkan atau melanjutkan transaksi tanpa harus ada kerelaan dari pihak lain (Lihat Aqsaam al-Uqud hlm 252 dan foote note Minhajus Salikin hlm 157-158).

Di antara hukum yang berlaku pada transaksi permanen adalah tidak ada pilihan yang bersifat permanen, dan tidak ada pula pembatalan setelah kematian salah satu yang terlibat dalam transaksi atau keduanya, salah satu menjadi gila atau pingsan dan sejenisnya. Lain halnya dengan transaksi non permanen (Lihat kitab malaa yasa’u tajira Jahluhu, Prof Dr Abdullah al-Mushlih yang telah diterjemahkan dalam bahasa indonesia dengan judul Fikih Ekonomi Keuangan Islam, penerbit Darul Haq  hlm 34).

Keempat: Dilihat dari Sudut Pandang Apakah Ada Syarat ‘penyerahan barang langsung’ atau Tidak ( Diringkas dari aqsaam al-Uqud hlm 390-445).

Dilihat dari keharusan adanya penyerahan barang langsung atau tidak, transaksi terbagi menjadi dua:

1. Transaksi yang tidak mengharuskan serah terima barang secara langsung pada saat transaksi, (Uqud Ridha’iyah). Dalam transaksi ini hanya keridhaan kedua transaktor yang menentukan transaksi.  Sebagai contoh jual beli secara umum yang sempurna transaksi dengan ijab dan qabul dan langsung mengakibatkan perpindahan kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli. Hal ini berlaku baik sudah terjadi penyerahan barang langsung atau belum menurut kesepakatan para ulama. Apabila sempurna akad maka wajib bagi penjual menyerahkan barang kepada pembeli dan pembeli menyerahkan pembayaran barang tersebut. Disini penyerahan barang menjadi konsekwensi langsung transaksi.

2. Transaksi yang mengharuskan serah terima barang secara langsung (Uqud Qabdhiyah). Dan transaksi semacam ini, terbagi pula menjadi tiga:

a. Transaksi yang disyaratkan harus ada serah terima barang secara langsung untuk memindahkan kepemilikan, seperti hibah dan peminjaman uang. Dalam semua transaksi ini kepemilikan tidak berpindah hanya berdasarkan akad, tetapi harus ada serah terima barang secara langsung, menurut mayoritas para ulama terkecuali kalangan Malikiyyah.

b. Transaksi yang mensyaratkan serah terima barang secara langsung sebagai syarat sahnya, seperti sharf (Money Changer). Para ulama menjadikan serah terima barang dan pembayarannya di majlis transaksi sebagai syarat sahnya. Imam ibnul Mundzir menyatakan: “Semua ulama yang saya hafal bersepakat bahwa para trasnsaktor sharf (Money Changer) apabila berpisah majlis sebelum saling serah terima, maka Sharf nya fasad” (Al-Ijma’ hlm 54 dan lihat Aqsaam al-Uqud 2/416).  Demikian juga  jual beli salam dan penjualan komoditi riba fadhal. Dalam sharf (Money Changer) dan penjualan komoditi riba fadhal (yang berjumlah enam) harus ada penyerahan barang langsung dan juga pembayarannya dalam satu waktu, kalau tidak transaksi jual beli itu tidak sah. Namun dalam jual beli salam harus didahulukan pembayaran harga modal dalam waktu transaksi, kalau tidak, jual beli itu juga tidak sah. Sebagian Malikiyyah membolehkan penangguhan pembayaran harga modal itu hingga tiga hari. Karena sesuatu yang dekat dengan  harus didahulukan pembayaran harga modal dalam waktu transaksi, kalau tidak, jual beli itu juga tidak sah. 

c. Transaksi yang akan menjadi permanen bila ada serah terima barang secara langsung, seperti hibah dan pegadaian. Mayoritas ulama berpendapat bahwa serah terima barang tidak dipersyaratkan dalam transaksi tersebut, tetapi dipersyaratkan serah terima barang untuk menjadikan transaksi tersebut permanen. Orang yang menghibahkan barangnya berhak untuk membatalkan hibahnya sebelum ada serah terima barang menurut mayoritas ulama. Demikian juga penggadaian itu dianggap batal menurut mayoritas ulama bila orang yang menerima gadaian barang menggagalkannya sebelum serah terima barang dari pihak yang menggadaikan.

Kelima: Dari Sudut Pandang Apakah Ada Kompensasinya Atau Tidak

Berkaitan dengan ada atau tidak adanya kompensasi, transaksi terbagi menjadi dua:

1. Transaksi kompensasional, seperti jual beli, kooperasi, penyewaan, pernikahan dan sejenisnya.

2. Transaksi sukarela, seperti hibah, penitipan, sponsorship dan sejenisnya.

Pengaruh dari klasifikasi ini adalah sebagai berikut:

a. Adanya syarat untuk harus mengetahui bentuk kompensasi dalam berbagai transaksi kompensasional. Komoditi berharga, uang pembayaran, upah dan sejenisnya. Dalam semua transaksi tersebut kompensasi-kompensasi itu harus diketahui, kecuali dalam soal mahar atau kompensasi khulu’. Ketidaktahuan soal mahar atau kompensasi khulu’ tidak membatalkan transaksi. Karena ada barometernya, yaitu keseimbangan mahar. Adapun transaksi sukarela, karena memang tidak membutuhkan kompensasi, tidak mengapa bila ada ketidakjelasan kompensasinya bila hendak diberikan, atau ada sedikit manipulasi, karena semua itu didasari oleh kemudahan dan tanpa batasan.

b. Wajibnya menunaikan apa yang menjadi perjanjian kedua belah pihak yang bertransaksi, dalam transaksi kompensasional, berdasarkan firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu...” (Al-Maa-idah : 1)

Karena dengan tidak ditunaikannya perjanjian itu pasti akan terjadi bahaya terhadap pihak lain yang bertransaksi, yakni hilangnya secara sia-sia segala kompensasi yang dia berikan sebagai imbalannya. Lain halnya dengan transaksi sukarela di mana pemberian kompensasi itu hanya dianjurkan, tidak diwajibkan. Karena orang yang melakukan transaksi tersebut hanya berbuat baik. Orang yang sekedar melakukan amal kebajikan, tentu tidak boleh menuntut kompensasi apa-apa.

Keenam: Dari Sudut Pandang Legalitasnya

Dipandang dari legalitasnya, transaksi terbagi menjadi dua:

1. Transaksi legal atau akad yang sah adalah transaksi yang secara mendasar dan aplikatif memang disyariatkan. Transaksi yang memenuhi rukun-rukunnya dan aplikasinya secara bersamaan. Sehingga berlaku seluruh konsekuensi transaksi yang sah, seperti jual beli, sewa menyewa dan sejenisnya, apabila seluruh rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya sudah terpenuhi (Lihat al-Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah hlm 27-28).

2. Transaksi ilegal atau akad yang batal adalah transaksi yang dianggap ajaran syariat tidak diberlakukan padanya segala konsekuensi akad yang sah, karena tidak memenuhi syarat, rukun atau terlarang dalam syariat. Batasannya adalah segala transaksi yang pada asalnya dan secara aplikatif tidak disyariatkan, seperti transaksi orang gila, anak kecil yang belum baligh, atau transaksi terhadap bangkai, darah, daging bagi dan sejenisnya. Atau transaksi yang secara asal disyariatkan, tetapi secara aplikatif tidak disyariatkan, seperti transaksi orang di bawah paksaan, transaksi terhadap barang yang tidak diketahui dalam transaksi kompensasional.

Mayoritas ulama memandang transaksi ilegal ini disebut transaksi batil atau rusak. Keduanya sinonim menurut kesepakatan para ulama dalam masalah ibadah. Namun dalam masalah muamalah terjadi perbedaan antara mayoritas ulama dengan kalangan Hanafiyah. Mayoritas ulama memandang transaksi rusak dan batil adalah sama dan sinonim. Sedangkan kalangan Hanafiyyah membedakan antara transaksi yang secara asal dan secara aplikatif tidak disyariatkan, dan itu mereka sebut transaksi batil (al-Aqd al-Baathil), dengan transaksi yang secara asal disyariatkan namun secara aplikatifnya tidak, dan itu mereka sebut sebagai transaksi rusak (al-Aqd al-faasid)

Contoh transaksi yang rusak (al-Aqd al-faasid) adalah transaksi jual beli ribawi Berdasarkan pembedaan ini, terbentuk beberapa hasil praktis berkaitan dengan adanya konsekuensi terhadap transaksi rusak atau transaksi batil alias ilegal. Menurut mayoritas ulama transaksi jual beli ribawi batil dan tidak sah. Sedangkan menurut madzhab Hanafiyah transaksinya rusak (al-Aqd al-faasid). Maksudnya pada asalnya jual beli ribawi adalah jual beli plus tambahan keuntungan tanpa resiko. Sehingga jual beli pada asalnya disyariatkan dan dilarang karena transaksi ribawi. Sehingga menurut mereka jual belinya rusak (Faasid) yang sama-sama transaksi legal (sah) dalam kepemilikannya bila sudah diserah terimakan. Transaksi imi –versi mereka- dapat disahkan (legal) dengan menghilangkan aplikasi yang merusaknya, seperti mengembalikan  kelebihan dalam riba (Al-Uqud al-Murakkabah  hlm 29).

Ketujuh: Dari Sudut Pandang disyariatkan atau tidak.

Transaksi dalam sudut pandang ini terbagi menjadi dua:

Pertama : uqud masyru’ah adalah transaksi yang diperbolehkan dan diizinkan syariat

Kedua : Uqud Mamnu’ah  adalah transaksi yang dilarang oleh syariat.

Kedelapan: Dari Sudut Pandang adanya penamaan dalam syariat atau tidak.

Pembagian transaksi dalam tinjauan ini terbagi menjadi dua macam:

Pertama :Uqud Musammaah adalah transaksi yang telah ada dalam nash syariat dan memiliki nama khusus yang menunjukkan hakekatnya. Juga memiliki hukum-hukum yang muncul bila sempurna transaksinya. Seperti jual beli, Ijaarah, Hibah dll. 

Kedua :uqud ghairi Musammaah  adalah transaksi yang tidak ada nash syariat yang mengkhususkan nama dan hukum-hukumnya secara khusus dan langsung (Al-Uqud al-Murakkabah hlm 25). Namun diketahuihukum-hukumnya dari keumuman dan kaedah-kaedah syariat . uqud ghairi musammaah banyak sekali dan tak berbilang, karena munculnya sesuai dengan kebutuhan transaktor, kemajuan peradaban dan kemaslahayan yang terus berganti-ganti (Lihat al-Fiqh al-Islami karya az-Zuhaili 4/242). 

Dalam fikih islam bermunculan transaksi-transaksi baru dengan perkembangan masa dan para ulama memberikan nama khusus padanya serta menetapkan hukum-hukum untuknya, sehingga memiliki nama dan hukum khusus dalam fikih islam. Sebagai contoh  bai’ al- wafa’ yaitu jual beli dengan syarat kapan sang penjual mengembalikan nilai barang maka pembeli harus mengembalikan barang kepadanya. Juga ada bai’ al-Mudhayafah,yaitu menginap di hotel dengan makanan dan minumannya. Transaksi ini tersusun dari dua transaksi yaitu transaksi ijaarah bila ditinjau dari tempat dan pelayanan dan transaksi jual beli bila ditinjau dari makanan dan minumannya.

Nampaknya transaksi berganda padaumumnya adalah uqud ghairi Musammaah  pada asalnya dan mayoritas uqud ghairi musammaah juga berasal dari campuran uqud musammaah.

Kesembilan : Dari Sudut Pandang tujuan bisnis dan non bisnis

Pembagian transaksi atau akad dalam tinjauan ini terbagi menjadi dua macam:

Pertama, Transaksi yang bertujuan untuk mencari keuntungan dari kedua belah pihak (aqad al-Mu’awadhah).Setiap orang yang menjalankan akad ini sadar dan menyadari bahwa ia dan lawan akadnya sedang berusaha mendapatkan keuntungan dari akad yang ia jalin.

Contoh dari akad macam ini ialah akad jual beli, sewa-menyewa, syarikat dagang, penggarapan tanah (musaqaah) dan lain-lain.

Kedua, transaksi yang bertujuan untuk memberikan perhargaan, pertolongan, dan jasa baik atau uluran tangan kepada orang lain (Aqad at-Tabarru’at) . Akad tabarru’ ini adalah akad atau transaksi yang terkandung pemberian keuntungan hanya kepada salah satu pihak transaktor saja dan tegak diatas dasar penghargaan, pertolongan dari salah satu transaktor kepada yang lain. Contohnya adalah pemberian, washiyat, shadaqah dan wakaf. 

Sebagaian ulama menambah dengan jenis ketiga yaitu, akad yang dapat diperlakukan dengan kedua tujuan di atas, yaitu dapat sebagai akad yang bertujuan menolong dan dapat diperlakukan sebagai akad yang bertujuan mencari keuntungan. Di antara akad jenis ini ialah akad syarikah, iqaalah (membatalkan suatu akad), dan akad at-tauliyah (menjual barang dengan harga beli) (baca Bidayah al-Mujtahid oleh Ibnu Rusyd al-Hafidz, 2/126).  Ini disebut sebagian ulama dengan aqad mu’awadhah ghairi Mahdhoh (Al-Uqud al-Murakkabah hlm 31 foot note 4).

Kesepuluh: Dari Sudut Pandang transaksi tunggal atau transaksi berganda.

Pembagian transaksi dari sudut pandang ini terbagi dalam dua macam:

Pertama : Uqud Basithah  adalah transaksi tunggal yang hanya memakai satu jenis transaksi saja. 

Kedua :Uqud Murakkabah adalah transaksi yang mengandung lebih dari satu jenis transaksi (akad berganda).

Demikianlah sepuluh tinjauan pembagian transaksi dalam syariat yang sangat diperlukan dalam memahami permasalahan transaksi dalam islam.

Semoga bermanfaat.

Referensi.

  1. Al-Uqud al-maliyah al-Murakkabah, Dirasaat Fiqhiyyah Ta’shiliyah  Wa Tathbiqiyah, DR. Abdullah bin Muhammad al-Umraani, cetakan pertama tahun 1427, penerbit Kunuz Isybiliya 
  2. Ahkaam Tasharrufaat al-wakil Fi uquud al-Mu’awwadhah al-Maaliyah, DR. Sulthan bin Ibrohim al-Haasyimi , cetakan pertama tahun 1422 H, penerbit Dar al-Buhuts liddirasaat al-Islamiyah wa Ihyaa at-turats, Emirat Arab.
  3. Aqsaam al-Uqud Fi al-Fiqhil Islami, Hannaan binti Muhammad Husein Jastaniyah, Thesisi S2 di fakultas Syariat, Universitas Ummul Qura’, makkah. Dll.


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/7505-klasifikasi-transaksi.html